Rokok dan Kemiskinan, Tahukah kamu? Menurut data BPS, pengeluaran rumah tangga miskin di Indonesia untuk rokok bahkan lebih tinggi dari belanja protein seperti telur dan daging. Aneh tapi nyata.
Rokok, Status Sosial, dan Ilusi Kenikmatan
Di banyak wilayah Indonesia, rokok bukan sekadar kebiasaan—ia sudah menjadi bagian dari identitas sosial. Merokok dianggap simbol “kejantanan” atau cara “melawan stres”. Ironisnya, persepsi ini justru paling kuat di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Harga rokok yang terus naik tidak mengurangi konsumsi. Justru, sebagian masyarakat kelas bawah rela mengorbankan kebutuhan pokok demi sebatang rokok. Dalam satu bulan, pengeluaran untuk rokok bisa melebihi uang belanja beras atau susu anak.
Dampak Kesehatan: Tersingkir dari Prioritas
Masalah utama dari konsumsi rokok bukan hanya pada kantong, tapi juga paru-paru—dan jantung, pembuluh darah, hingga risiko kanker. Namun yang tragis, masyarakat miskin kerap tak punya akses atau kemampuan untuk memeriksakan kesehatan mereka secara rutin. Ketika sakit akibat rokok datang, sudah terlalu terlambat dan terlalu mahal.
Tak jarang, kepala keluarga yang sakit akibat merokok justru menjadi beban ekonomi keluarga. Anak-anak putus sekolah, istri harus bekerja ekstra keras, dan lingkaran kemiskinan terus berulang.
Anak-anak Jadi Korban
Dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan: normalisasi rokok di rumah tangga miskin. Anak-anak tumbuh besar menyaksikan orang tua merokok setiap hari. Mereka menganggap itu biasa, bahkan keren. Tidak sedikit anak SMP atau bahkan SD yang mulai merokok karena lingkungan sekitar membenarkannya.
Lebih parah, uang jajan mereka pun diarahkan ke rokok. Ini bukan sekadar masalah kesehatan, tapi juga pendidikan dan masa depan yang terancam.
Industri Rokok dan Politik
Kenapa rokok begitu susah diberantas? Jawabannya satu: uang. Industri rokok adalah penyumbang pajak besar dan penyerap tenaga kerja. Banyak politisi yang “main aman” karena takut kehilangan suara atau dukungan dari pabrik rokok besar.
Akibatnya, kebijakan anti rokok di Indonesia lemah. Iklan rokok masih bebas berseliweran, sponsor acara anak muda masih dijalankan, dan harga rokok masih terbilang murah jika dibandingkan dengan dampak buruknya.
Baca juga : Eksploitasi Pekerja Pertanian di Indonesia di Balik Pangan Kita
Jalan Keluar: Edukasi dan Regulasi
Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, edukasi. Kesadaran harus di bangun dari akar rumput. Kampanye kesehatan harus menjangkau pelosok desa, bukan hanya kota besar. Harus ada pemahaman bahwa rokok bukan kebutuhan hidup, tapi penggerogot kehidupan.
Kedua, regulasi. Pemerintah perlu lebih tegas. Kenaikan cukai harus di ikuti pengawasan distribusi. Iklan rokok perlu di batasi total, terutama yang menyasar anak muda. Program bantuan untuk perokok yang ingin berhenti juga penting disediakan.
Rokok bukan soal gaya hidup, tapi soal hidup itu sendiri. Apakah kita akan terus membiarkan masyarakat kelas bawah terjebak dalam ilusi nikotin, atau mulai bergerak bersama memutus rantai ini?
Pilihannya ada di tangan kita. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dalam asap dan harapan yang terbakar habis.
Rokok dan Kemiskinan – Ditulis oleh Bokormas