Eksploitasi Pekerja Pertanian, “Kalau petani mogok, kalian makan apa?” – Kalimat ini sering kita dengar, tapi pernahkah kita benar-benar memahami betapa kerasnya kehidupan para pekerja pertanian di Indonesia?
Ketimpangan yang Tak Pernah Usai
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun ironisnya, nasib pekerja pertanian masih jauh dari kata sejahtera. Menurut data BPS, mayoritas buruh tani di Indonesia hanya menerima upah harian rata-rata Rp 60.000–80.000. Itu pun tanpa jaminan sosial, perlindungan kerja, atau kepastian kerja jangka panjang.
Lebih menyakitkan lagi, banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang membahayakan: paparan pestisida tanpa alat pelindung, jam kerja berlebihan, dan sering kali di bawah sistem kerja borongan yang eksploitatif. Mereka bukan hanya dibayar murah, tapi juga diperlakukan seolah tak punya hak.
Baca juga artikel lainnya : Bokormas.com: Menelusuri Budaya, Sejarah, dan Evolusi Rokok di Indonesia
Sistem yang Mendukung Eksploitasi
Masalahnya bukan hanya soal upah rendah, tapi sistem agraria yang timpang. Banyak pekerja tani tidak memiliki lahan sendiri dan terpaksa menjadi buruh di lahan orang lain, dengan sistem kontrak tak jelas. Dalam banyak kasus, pemilik lahan atau tengkulak mengambil keuntungan terbesar, sementara buruh hanya menerima sisa.
Tak jarang pula, ada praktik kerja paksa terselubung. Beberapa laporan menyebutkan kasus pekerja yang “terjebak” utang kepada pemilik lahan, dan harus terus bekerja demi melunasi utang yang terus membesar.
Perempuan dan Anak, Korban yang Terlupakan
Eksploitasi ini makin parah saat menyentuh perempuan dan anak-anak. Di banyak daerah, perempuan bekerja di ladang tanpa di akui secara formal sebagai pekerja. Mereka tak mendapat upah, hanya di anggap membantu suami.
Sementara itu, anak-anak kerap di libatkan dalam pekerjaan musiman, seperti panen. Alih-alih sekolah, mereka ikut menanam dan memanen demi menambah penghasilan keluarga. Ini adalah lingkaran setan kemiskinan yang sulit di putus.
Di Mana Negara?
Regulasi sebenarnya ada—UU Ketenagakerjaan, UU Perlindungan Pekerja Migran, hingga Peraturan Menteri Pertanian. Namun implementasinya sangat lemah. Pengawasan nyaris tak ada. Apalagi di sektor informal seperti pertanian, pelanggaran hak buruh sering “di maafkan” demi efisiensi produksi.
Belum lagi tekanan dari industri agribisnis besar yang memaksa efisiensi maksimal dengan biaya serendah mungkin. Di sinilah para buruh pertanian menjadi tumbal dari sistem kapitalisme agraria.
Harapan dan Solusi
Apakah ini berarti tidak ada harapan? Tidak juga.
Organisasi petani, LSM, dan serikat buruh terus berjuang menuntut keadilan. Beberapa inisiatif seperti koperasi tani, sertifikasi fair trade, hingga reforma agraria yang sesungguhnya, bisa menjadi jalan keluar.
Namun, kunci sebenarnya ada di tangan kita semua—konsumen. Saat kita mulai peduli dari mana asal makanan kita, siapa yang memproduksi, dan bagaimana mereka di perlakukan, kita bisa mendorong perubahan.
“Kalau kamu tahu bahwa satu piring nasi di meja makanmu adalah hasil keringat dari seseorang yang di perlakukan tidak adil, apa yang akan kamu lakukan?”
Mari kita jadikan kepedulian kita bukan hanya slogan, tapi gerakan nyata. Untuk petani, untuk keadilan, untuk masa depan yang lebih manusiawi.
Eksploitasi Pekerja Pertanian di Indonesia – Ditulis oleh bokormas