Pemerintah kembali membuat aturan baru soal penjualan rokok yang bikin banyak pedagang kecil deg-degan. Salah satu yang jadi sorotan adalah soal aturan jarak penjualan rokok dari fasilitas pendidikan, seperti sekolah. Aturan ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan yang merupakan turunan dari UU Kesehatan yang baru.

Aturan ini menetapkan bahwa warung atau toko tidak boleh menjual rokok dalam radius tertentu dari sekolah atau tempat anak-anak berkumpul. Sekilas, tujuannya tentu mulia melindungi generasi muda dari bahaya rokok. Tapi di lapangan, banyak pedagang yang merasa aturan ini seperti bom waktu. Tanpa kesiapan yang matang, mereka bisa kehilangan mata pencaharian dalam semalam.

Pedagang Kecil Jadi Korban Dari Aturan Jarak Penjualan Rokok

Banyak pedagang warung kelontong atau kios kecil yang selama ini mengandalkan penjualan rokok sebagai salah satu sumber pendapatan utama. Penjualan rokok bisa menyumbang 40% hingga 60% dari omzet harian. Bayangkan kalau tiba-tiba di larang menjual karena jarak tokonya kurang dari 500 meter dari sekolah. Mereka bisa kehilangan pelanggan tetap dan penghasilan harian secara drastis.

Apalagi di kota-kota besar, lokasi sekolah sangat berdekatan dengan permukiman dan pusat ekonomi. Hampir di tiap 200 meter pasti ada sekolah atau tempat ibadah. Artinya, cakupan larangan ini bisa sangat luas. Pedagang jadi bingung, harus pindah kemana kalau di sekeliling mereka sudah penuh aturan?

Kenapa Rokok Masih Jadi Andalan?

Mungkin ada yang bertanya, kenapa masih banyak pedagang yang menjual rokok padahal barang ini berbahaya bagi kesehatan? Jawabannya sederhana: karena rokok adalah barang yang cepat laku. Marginnya jelas, pasarnya luas, dan permintaannya stabil. Bahkan di masa pandemi sekalipun, penjualan rokok tidak anjlok sedalam sektor lain.

Rokok juga menjadi ‘magnet’ bagi pembeli. Banyak konsumen yang datang ke warung awalnya cuma mau beli rokok, tapi akhirnya membeli minuman, makanan ringan, atau kebutuhan lain. Jadi ketika rokok di larang di jual, potensi kerugian pedagang tidak hanya dari hilangnya satu produk, tapi juga menurunnya traffic pembeli ke warung.

Dampak Sosial yang Tidak Kecil

Aturan ini juga menimbulkan efek sosial yang perlu di perhatikan. Banyak pedagang yang merupakan tulang punggung keluarga. Mereka sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari usaha kecil seperti ini. Jika peraturan di terapkan secara mendadak tanpa sosialisasi atau kompensasi, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes dan keresahan sosial.

Belum lagi kalau pedagang di anggap melanggar dan di beri sanksi. Bayangkan seorang ibu pemilik warung yang tidak tahu aturan baru, lalu tiba-tiba di datangi petugas dan di kenai denda. Ini bisa menciptakan ketakutan, bahkan rasa tidak percaya terhadap pemerintah.

Baca Juga Berita Menarik Lainnya Hanya Di bokormas.com

Solusi Harus Adil dan Realistis

Sebenarnya, niat pemerintah untuk mengurangi akses rokok bagi anak-anak patut di apresiasi. Tapi dalam pelaksanaannya, kebijakan ini perlu disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan. Sosialisasi harus maksimal, dan harus ada masa transisi yang cukup. Jangan langsung dilarang tanpa memberi solusi alternatif bagi para pedagang.

Kalau memang mau diterapkan, harus ada peta zonasi yang jelas. Pedagang juga perlu diberi informasi detail: radius berapa meter? Apakah ada kompensasi bagi pedagang yang terdampak? Apakah mereka boleh tetap berjualan jika memasang pembatas visual seperti penutup produk rokok?

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi produk di warung-warung kecil. Misalnya, membantu pedagang menjual barang kebutuhan pokok lain yang permintaannya tinggi tapi keuntungannya tidak terlalu kecil. Bisa lewat pelatihan, subsidi modal usaha, atau kolaborasi dengan koperasi.

Arah Kebijakan yang Perlu Dikaji Ulang

Yang sering jadi pertanyaan dari para pedagang: kenapa rokok yang legal di jual malah di perlakukan seperti barang ilegal? Jika memang rokok di anggap berbahaya dan ingin di kendalikan ketat, kenapa tidak sekalian saja di larang produksinya? Di sinilah kebijakan pemerintah di nilai inkonsisten. Industri rokok masih menyumbang cukai triliunan rupiah setiap tahun, tapi di sisi lain, peredarannya ingin di kekang habis-habisan.

Pedagang kecil merasa jadi korban dari tarik-menarik kepentingan ini. Mereka bukan produsen, bukan pengiklan, bukan distributor besar. Mereka hanya menjual karena ada permintaan dan itu sah secara hukum.